Selasa, 26 Mei 2009

Takdir

Doa Menolak Takdir

Dari Salman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

“Tak ada yang dapat menolak takdir selain doa, dan tak ada yang dapat memperpanjang umur selain kebajikan.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2139. Al-Albani menganggapnya hasan lighairih dalam Shahih At-Targhib, no. 1639).

Ada beberapa hadits lain yang senada dengan ini dan menunjukkan bahwa takdir bisa dicegah dengan doa, tapi semuanya dha’if. Sedangkan hadits ini derajatnya hasan, sehingga bisa dipakai sebagai hujjah.

Bagaimana doa bisa menolak takdir padahal takdir sudah ditentukan?

Jawabnya, Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menciptakan takdir dan menciptakan pula sebabnya. Allah maha tahu apa yang akan terjadi nanti dan Ia tidak mungkin lupa atau kecolongan sehingga mengubah keputusan-Nya yang telah lalu. Tapi itu semua berada dalam dimensi ilahiyyah yang tak mungkin bisa diselami akal manusia yang serba terbatas ini. Maka tak perlu membahas masalah tersebut lebih lanjut.

Manusia hanya diperintahkan untuk melakukan sebab. Bila ingin mendapatkan rezki harus bekerja, tidak mungkin bisa kaya dengan bermalas-malasan. Nah, kerja adalah sebab dan rezki memang di tangan tuhan. Hanya orang kurang akal yang mengatakan, “Ah, buat apa bekerja bukankah rezki di tangan tuhan. Jadi, kalau saya sudah ditakdirkan kaya, maka saya akan kaya dengan sendirinya.”

Demikianlah doa, ia merupakan sebab yang diciptakan Allah untuk memperoleh keuntungan dan menolak kerugian, sama seperti kerja yang diciptakan sebagai sebab untuk mendapat kekayaan.

Kesimpulannya, takdir sudah ditetapkan dan tidak akan berubah dalam dimensi Allah. Ia hanya akan berubah dalam dimensi manusia. Manusia tidak boleh tahu apa yang sudah diputuskan Allah, tapi hanya harus berusaha untuk mendapatkan yang terbaik. Dan, Allah telah menunjukkan jalan terbaik untuk selamat dari keburukan yang kemungkinan besar akan terjadi, yaitu dengan doa. Itulah takdir dalam dimensi manusia, sesuatu yang sudah dipastikan akan terjadi, sehingga secara logika tak mungkin tertolak. Misalnya, ada yang sakit dan menurut dokter tinggal menunggu waktu saja dan tidak mungkin disembuhkan. Tapi, dengan doa siapa tahu terjadi keajaiban dan yang bersangkutan ternyata sembuh. Inilah maksud doa menolak takdir. Walahu ‘alam.

Kisah nyata:

Kisah ini dialami oleh salah seorang teman istri saya yang bekerja di PT Sanyo Electronics Cikarang. Dia menuliskan ceritanya khusus untuk penulisan buku saya ini, semoga Allah membalasnya dengan kabaikan.

Ia mengalami kehamilan pertama, dan ketika diperiksa oleh dokter ternyata janin yang ia kandung terinveksi virus rubella akibat sakit yang diderita sang ibu. Virus itu menyerang pada saat usia kandungannya 3,5 bulan. Hasilnya, sang bayi positif akan lahir dalam keadaan cacat, seperti buta, gangguan pendengaran dan lain sebagainya.

Beberapa kali ia berusaha memeriksakan kandungannya melalui USG. Menurut dokter yang memeriksa bayi tersebut memiliki kelainan kromosom di tengkorak belakang yang akan mengakibatkan anak itu jadi idiot setelah lahir nanti.

Dengan perasaan tak menentu sang teman ini berusaha untuk pasrah. Sampai pada saatnya untuk melakukan pemeriksaan lanjutan di RSCM. Pada malam sebelum pemeriksaan itu dia bangun shalat tahajjud dan berdoa kepada Allah, dengan keyakinan penuh bahwa Allah pasti mendengar doa hamba-Nya yang kesusahan. Lalu dia juga berusaha bertawassul dengan meminum air zam-zam. Dan sangat mengejutkan bahwa hasil pemeriksaan di RSCM menyatakan bahwa sang janin sehat dan tidak terdapat kelainan apapun. ALLAHU AKBAR!

Bukan main gembiranya perasaan sang teman ini, dan dia merasakan betapa Allah maha baik bila diminta dengan ikhlas oleh sang hamba. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengenakan jilbab (sebelumnya dia tidak berjilbab) pasca melahirkan sebagai bentuk syukurnya kepada Allah Taala.

Dari sini ada beberapa hal menurut pandangan syar’i mengapa anaknya itu sembuh. Beberapa ikhtiyar yang dia lakukan adalah:

Dia berdoa

Dia pasrah pada keputusan Allah

Dia Shalat Tahajjud

Dia bertawassul dengan meminum air zamzam

Semua itu memang disunnahkan, dan masing-masing akan menyebabkan terkabulnya doa bila dilakukan ikhlas dan memasrahkan diri kepada Allah Ta’ala. Ini adalah salah satu makna hadits Rasulullah SAW di atas yang menerangkan bahwa doa bisa mengubah takdir. Maksudnya, takdir yang sudah diperkirakan bakal terjadi tapi masih mengandung kemungkinan lain. Wallahu a’lam.

(Akhlak dan agama by Anshari Taslim)

1 komentar:

  1. Menambahkan terhadap apa yang telah ditulis oleh ‘saudara’ saya : Yeny Widya Perdana tentang TAKDIR tersebut, saya ingin menambahkan kajian ini dalam Islam tentang apa yang disebut QODHO dan QODAR, suatu masalah yang juga telah cukup lama menjadi bahan pembahasan para filosof Yunani, juga orang-orang Nasrani dari Sekte Surianis dan Sekte Zarasutra.
    Ketika Islam menyebar ke hampir seluruh penjuru dunia, kemunculan berbagai faham di luar Islam yang mempengaruhi ajaran Islam sulit untuk dihindari. Di antaranya, pendapat yang mengatakan bahwa manusia itu sesungguhnya bebas berkehendak (free will) . Tidak ada takdir atau ketetapan Allah SWT. Dengan kata lain, manusia memiliki kemampuan (qodar) untuk berusaha sendiri. Mereka yang berpendapat demikian disebut golongan QODARIYAH atau MU’TAZILAH, yang pertama kali dikembangkan oleh Washil bin Atha’. Secara garis besar, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak (irodah), kekuatan, kekuasaan (kudrat, power) dan kebebasan (hurriyat, freedom) untuk berbuat atau tidak berbuat, dan terlepas dari kehendak, kekuasaan dan takdir Allah SWT. Oleh karena itu, wajar dan adil apabila manusia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Manusia sesungguhnya menciptakan segala perbuatannya dengan ikhtiar dan kudratnya sendiri berdasarkan kehendaknya sendiri. Kudrat dan Iradat Allah SWT sama sekali tidak turut campur tangan dalam perbuatan manusia.Pendapat ini dipengaruhi paham indetermisme dari filsafat Yunani yang merasuk dalam pemikiran dunia Islam.
    Pendapat golongan ini didasarkan pada alasan-alasan sbb :
    - Perbuatan manusia terdiri dari dua gerak, yaitu gerak ikhtiariyah dan idltthiariyah. Tidak sama gerak memukul (sengaja) dengan tangan gemetar karena takut.
    - Pelaksanaan hukum syar’i (taklif syar’i), pahala dan siksa terkait qudrat dan iradat manusia.
    - Andaikan semua perbuatan manusia atas qudrat dan iradat Allah SWT, maka semua perbuatan itu dapat dilimpahkan (tanggungjawabnya) kepada Allah SWT. Jelas ini tak mungkin.
    Golongan ini mentakwil ayat-ayat Al Qur’an yang diantaranya menunjukan bahwa manusia mendapat balasan atas perbuatannya, sebagai syarat kebebasan perbuatannya, seperti QS : As-Sajadah :17, QS. Al-Kahfi :29.
    Golongan kedua adalah PAHAM JABARIYAH yang dipelopori oleh JAHMU bin SOFWAN, yang pendapatnya bertolak belakang dengan faham qadariyah. Golongan Jabariyah berpendapat bahwa manusia sesungguhnya tidak memiliki kekuasaan untuk memilih. Ia harus pasrah. Ia tidak mengerjakan sesuatu selain apa yang telah ditentukan atau ditaqdirkan Allah untuk dikerjakan. Allah lah yang menciptakan perbuatan manusia, baik atau buruk. Manusia dipaksa oleh kekuatan dari luar dirinya, yakni kehendak dan kekuasaan Allah. Ia tidak mempunyai kebebasan berkehendak ( laa hurriyyatu al-iradah) dan tidak memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuatu.
    Golongan ketiga adalah Paham AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH yang dipelopori oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dan Mansur Al-Maturidy yang memberikan jawaban untuk membela akidah umat Islam agar tidak tersesat oleh kedua paham di atas.
    Golongan ini berpendapat bahwa manusia mempunyai (diberi) kebebasan berkehendak, berkuasa dan berpengetahuan, tetapi hanya sampai pada ujung tertentu (ada batasnya atau dibatasi). Bahwa sesungguhnya pada diri manusia ada kehendak berbuat dan ada khasiat yang melahirkan perbuatan. Semua itu diciptakan oleh Allah SWT. , tatkala seseorang ‘memulai’ melakukan suatu perbuatan, sampai pada suatu ‘batas’, yang pada saat tiba di ‘batas’ itulah Allah SWT menentukan , jadi atau tidaknya perbuatan tersebut. Jadi ketika seseorang akan dan sedang berbuat maksiat atau perbuatan terpuji, maka ketika itulah Allah menciptakan perbuatan tersebut bagi si hamba. Kesimpulan itu diambil dari beberapa ayat al Quran, antara lain QS Al-Ahqaf :14, QS Al Baqarah : 286 dan QS Al-Kahfi :29.Golongan ini memunculkan sifat Maha Adil (keadilan) Allah SWT, yaitu dikaitkan dengan dosa dan pahala, siksa dan kenikmatan, yang erat kaitannya dengan perbuatan.

    BalasHapus